Minggu, 29 Maret 2015

“TERAPI RELAKSASI OTOT PROGRESIF BAGI PENDERITA HIPERTENSI”

Hipertensi merupakan penyakit yang berkontribusi terhadap  13,5% dari seluruh kematian (Brook, et al, 2013). Hipertensi seringkali tidak menimbulkan gejala, sehingga seringkali penderitanya tidak menyadari kondisinya sampai terjadi kerusakan organ, sehingga sering disebut sebagai silent killer. Gejala hipertensi biasanya samar, seperti sakit kepala dan nyeri leher bagian kuduk sehingga sering diabaikan (LeMone & Burke, 2008). Hipertensi merupakan penyebab umum kerusakan dari berbagai organ vital tubuh baik secara langsung maupun tidak langsung seperti jantung (penyakit jantung koroner, gagal jantung dan disritmia), ginjal (nefrosklerosis, insufisiensi, gagal ginjal), otak (stroke), serta arteri perifer dan retinopati.
Relaksasi otot progresif (PMR) adalah suatu metode untuk membantu menurunkan tegangan otot sehingga tubuh menjadi rileks. Pertama kali diperkenalkan oleh Edmund Jacobson, seorang dokter dari Amerika Serikat, pada tahun 1938. Dalam bukunya, Jacobson menjelaskan bahwa saat ketegangan otot secara signifikan menurun, maka kesempatan untuk munculnya penyakit dapat dikurangi. Jacobson juga mengatakan relaxation is the direct negative of nervous excitement. It is the absence of nerve-muscle impulse (Synder & Lindquist, 2010).
Tujuan latihan relaksasi adalah untuk menghasilkan respon yang dapat memerangi respon stres (Smeltzer & Bare, 2001). Manfaat dari PMR ini adalah menurunkan kecemasan, konsumsi oksigen tubuh, kecepatan metabolisme, frekuensi napas, ketegangan otot, tekanan darah sistol dan diastol, kontraksi ventrikel prematur dan peningkatan gelombang alfa otak (Synder & Lindquist, 2010).
Relaksasi otot progresif dilakukan dengan mengkontraksikan dan merelaksasikan sekelompok otot secara berurutan, yaitu otot tangan, lengan atas, lengan bawah, dahi, wajah, rahang, leher, dada, bahu, punggung atas, perut, paha dan betis. Kontraksi otot dilakukan 5-10 detik dan relaksasi selama lebih kurang 20-30 detik. Perhatian pasien diarahkan untuk dapat merasakan perbedaan antara saat otot-otot dikontraksikan dan saat direlaksasikan. Latihan dilakukan di rungan yang tenang diatas kursi atau tempat tidur yang nyaman yang menyokong tubuh dengan baik. Pasien dianjurkan memakai pakaian yang nyaman, tidak ketat, sepatu, kaca amta dan kontak lens dilepaskan. Poin penting dari latihan ini adalah melakukannya secara teratur tiap hari minimal 15 menit (Synder & Lindquist, 2010).
Menurut Katie (2009) Ada dua bagian yang perlu diperhatikan untuk relaksasi otot progresif, yaitu dalam membuat ketegangan dan melepaskan ketegangan otot. Proses penerapan ketegangan otot pada dasarnya adalah sama, terlepas dari mana kelompok otot yang gunakan. Pertama, fokuskan pikiran pada kelompok otot, misalnya: tangan kanan. Kemudian tarik napas dan hanya memeras otot sekeras yang bisa dilakukan untuk menahannya sekitar 8 detik, dalam contoh, kegiatan akan membuat kepalan tangan dengan melibatkan tangan. Setelah 8 detik ditahan, maka tiba-tiba bisa dilepaskan. Biarkan semua sesak dan sakit mengalir keluar dari otot-otot saat menghembuskan napas secara bersamaan. Dalam contoh ini, akan membayangkan sesak dan sakit mengalir keluar dari tangan melalui ujung jari ketika menghembuskan napas. Rasakan otot-otot rileks dan menjadi longgar dan lemas, ketegangan mengalir keluar seperti air dari keran. Fokuskan perasaan dengan melihat perbedaan antara ketegangan dan relaksasi.
Secara fisiologi, situasi stres mengaktivasi hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatik berespons terhadap impuls saraf dari hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ dan otot polos yang berada di bawah pengendaliannya, sebagai contohnya, ia meningkatkan kecepatan denyut jantung, meningkatkan tekanan darah, meningkatkan aliran darah ke otot dan mendilatasi pupil (Smeltzer & Bare, 2001).
Sistem saraf simpatis juga memberi sinyal ke medula adrenal untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran darah. Sistem korteks adrenal diaktivasi jika hipotalamus mensekresikan CRF, suatu zat kimia yang bekerja pada kelenjar hipofisis yang terletak tepat di bawah hipotalamus. Kelenjar hipofisis selanjutnya mensekresikan hormon ACTH, yang dibawa melalui aliran darah ke korteks adrenal. Dimana, ia menstimulasi pelepasan sekelompok hormon, termasuk kortisol, yang meregulasi kadar gula darah. ACTH juga memberi sinyal ke kelenjar endokrin lain untuk melepaskan sekitar 30 hormon. Efek kombinasi berbagai hormon stres yang dibawa melalui aliran darah ditambah aktivitas neural cabang simpatik dari sistem saraf otonomik berperan dalam respons fight or flight (Nasution I. K., 2007). Respon fight or flight merupakan reaksi stres di dalam tubuh yang mencakup meningkatnya detak jantung, pernafasan, tekanan darah, dan serum kolesterol. Filosofi dari respon fight or flight ini adalah : saat berhadapan dengan suatu ancaman, tubuh mempersiapkan dirinya untuk ; apakah akan tetap berada di tempat menghadapi ancaman tersebut (fight), ataukah akan lari dari ancaman tersebut (flight).
Smeltzer & Bare (2002) mengatakan tujuan latihan relaksasi adalah untuk menghasilkan respon yang dapat memerangi stress. Dengan demikian, saat melakukan relaksaksi otot progresif dengan tenang, rileks dan penuh kosentrasi (relaksasi dalam) terhadap tegang dan relaksasi otot yang dilatih selama 30 menit maka sekresi CRH (cotricotropin releasing hormone) dan ACTH (adrenocorticotropic hormone) di hipotalamus menurun. Penurunan kedua sekresi hormon ini menyebabkan aktivitas syaraf simpatis menurun sehingga pengeluaran adrenalin dan noradrenalin berkurang, akibatnya terjadi penurunan denyut jantung, pembuluh darah melebar, tahanan pembuluh darah berkurang dan penurunan pompa jantung sehingga tekanan darah arterial jantung menurun (Sherwood, 2011).
Latihan relaksaasi otot progresif memberikan dampak yang signifikan dalam menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi esensial atau primer. Dampak yang terjadi meliputi dampak langsung dan jangka panjang. Dampak langsung dari terapi relaksasi progresif adalah penurunan tekanan darah terutama sistolik pada orang dewasa yang melakukan pengobatan teratur. Jadi terapi relaksasi otot progresif bukan sebagai terapi tunggal. Terapi relaksasi otot progresif juga berdampak pada penurunan denyut nadi. Kondisi tersebut dapat disimpulkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Shinde, N., KJ, S., SM, K., Handee, D., & Bhushan, V. (2013) menggambarkan tentang study eksperimental yang dilakukan di berbagai fakultas di India bulan September 2011 sampai Desember 2011 dengan Subjek penelitian berjumlah 105 orang yang menderita hipertensi primer dengan tekanan darah diatas 140/90 mmHg dalam rentang usia 25-55 tahun dan menggunakan terapi medis dengan teratur. Data dasar diukur tekanan darah dan denyut jantung dalam posisi duduk. Semua subjek mendapat penjelasan tentang JPMR dan melakukan JPMR. Peneliti mendemonstrasikan teknik untuk mengkontraksikan dan merelaksasikan berbagai kelompok otot, mengatur kontraksi dan relaksasi dengan napas dalam dan melakukan prosedur dengan mata tertutup pada posisi supinasi. Setelah demonstrasi, subjek melakukan JPMR selama 30 menit dan setelah 30 menit latihan, tekanan darah dan denyut jantung diuukur lagi segera setelah JPMR dalam posisi duduk. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat signifikan pada tekanan darah dan denyut jantung pre dan post intervensi. Terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik pada tekanan darah sistolik (p < 0,01), tekanan darah diastolik (p = 0,05) dan denyut jantung (p < 0,05), penurunan yang signifikan setelah sesi JPMR.
Dampak jangka panjang terhadap terapi relaksasi otot progresif orang dewasa dengan hipertensi primer adalah penurunan yang signifikan terhadap tekanan darah sistolik. Namun penurunan tekanan darah sistolik hanya sekitar 5 mmHg pada orang yang hanya menggunakan tehnik terapi relaksasi otot progresif sebagai terapi tunggal. Sementara pada orang yang mengkonsumsi obat anti hipertensi penurunan  tekanan darah sistolik bisa mencapai 16,65 mmHg. Penurunan tekanan darah diastolik tidak bermakna pada orang yang tidak mengkonsumsi obat anti hipertensi, sementara pada orang yang rutin mengkonsumsi obat anti hipertensi penurunan tekanan darah diastolik mencapai 3,8 mmHg. Kondisi tersebut dapat disimpulkan dari tiga penelitian berikut.
Penelitian pertama dilakukan oleh Patel1*, D. H. M et all (2012) , merupakan penelitian eksperimen di Baroda India terhadap 83 orang  berusia 20 – 45 tahun yang dipilih  secara acak setelah diseleksi berdasarkan kriteria usia, tekanan darah, tidak dalam kondisi sakit yang lain, dan tidak sedang menggunakan obat anti hipertensi. Desain yang digunakan pre-post with control group. Responden dibagi menjadi  3 group. Grup 1 adalah kelompok hipertensif dengan tekanan darah tinggi, dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok dengan terapi PMR dan non PMR. Grup 2 adalah kelompok kontrol. Terapi PMR dilakukan oleh responden di rumah masing masing selama 3 bulan dengan bantuan kaset panduan terapi PMR. Hasil penelitian menunjukkan setelah 3 bulan terdapat perbedaan yang bermakna pada tekanan darah sistolik kelompok dengan terapi PMR sebelum dan sesudah terapi dari 142,93 menjadi 137,87mmHg (p < 0,05), terdapat perbedaan yang bermakna pada kelompok dengan terapi PMR dan non PMR setelah 3 bulan terapi (p < 0,05), dan terdapat perbedaan yang bermakna pada tekanan darah  sistolik maupun diastolik antara kelompok kontrol dan kelompok hipertensif setelah terapi PMR 3 bulan. Hasil penelitian  menunjukkan perbedaan pada tekanan darah sistolik yang bermakna pre dan post PMR pada kelompok intervensi, namun untuk tekanan darah diastolik tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Meskipun rerata tekanan darah sistolik responden yang melakukan PMR mengalami penurunan namun jika dibandingkan dengan kelompok kontrol yang memiliki tekanan darah normal masih terdapat perbedaan yang bermakna, artinya PMR bisa menurunkan tekanan darah namun tidak bisa mengembalikan ke tekanan darah yang normal.
Penelitian kedua dilakukan oleh Sheu et all (2003) di Taiwan dengan desain quasi eksperiment dilakukan pada 40 orang dengan hipertensi primer yang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok perlakuan melakukan latihan relaksasi otot progresi selama 30 menit tiap hari. Hasil yang diperoleh setelah satu minggu terjadi penurunan tekanan darah sistolik 3,7 – 6,5 mmHg, sementara untuk tekanan darah diastolik turun 3,0 – 3,8 mmHg. Efek lanjut latihan terlihat pada minggu ke tiga dengan penurunan tekanan darah sistolik sebesar 2,2 mmHg, dan pada minggu ke empat tekanan darah sistolik menurun sebesar 5,1 mmHg sedangkan tekanan diastolik turun 2,2 mmHg.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Harmono,R (2010) di 2 wilayah puskesmas di Malang terhadap 40 orang  penderita hipertensi primer yang mengkonsumsi obat anti hipertensi, tidak obesitas dan menjalani diit natrium yang dibatasi 2,4 gram perhari. Desain yang digunakan quasi eksperimental. Responden dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 20 orang kelompok perlakuan dan 20 orang kelompok kontrol. Kelompok kontrol mendapatkan latihan relaksasi otot progresif  selama 15 menit dua kali serhari yang dilaksanakan dalam 6 hari. Pengukuran tekanan darah dilakukan sebelum dan sesudah terapi relaksaski pada hari ke 2, 4 dan 6. Hasil penelitian menunjukkan terdapat penurunan tekanan darah sistolik yang signifikan hingga 16 mmHg (p value = 0,0075), sementara untuk tekanan darah diastolik terjadi penurunan 3,8 mmHg namun tidak bermakna (p value = 0,058).
Hasil penelitian pada seluruh jurnal berkaitan dengan kenyataan bahwa hipertensi berhubungan dengan gaya hidup yang tidak sehat sehingga rekomendasi utama yang disarankan WHO untuk mengelola dan mengatasinya adalah dengan memodifikasi gaya hidup termasuk pengendalian stres, kecemasan atau ketegangan (Shinde, KJ, SM, Hande & Bushan, 2013). Penelitian juga menunjukka bahwa terapi relaksasi otot progresif tidak bisa menjadi terapi alternatif (terapi tunggal) namun merupakan terapi komplementer yang membantu terapi obat anti hipertensi dalam menurunkan tekanan darah terutama tekanan darah sistolik.
Dalam jurnal yang dikumpulkan, penulis tidak menemukan adanya efek samping dari terapi relaksasi otot progresif. Meskipun diakui bermanfaat, relaksasi otot progresif tidak boleh dilakukan pada pasien dengan gangguan otot, jaringan atau nyeri punggung bawah, peningkatan tekanan intrakranial, hipertensi tidak terkontrol dan penyakit arteri koroner berat.  ( Lewis et all, 2007; Richmond, 2009; Synder & Lindquist, 2010).
Menurut Richmond, (2009)  beberapa hal yang harus diperhatikan dalam latihan relaksasi otot progresif  antara lain :
a.         Latihan di tempat yang tenang, sendirian, tanpa atau dengan bantuan audio untuk membantu konsentrasi.
b.        Lepaskan sepatu dan pakaian yang tebal.
c.         Hindari makan, minum, merokoksebelum latihan, yang terbaik latihan sebelum makan.
d.        Tidak boleh mengkonsumsi minuman keras sebelum latihan
e.         Jangan berlebihan dalam menegangkan otot karena dapat menyebabkan cidera

f.         Lakukan latihan selama 15 s.d 20 menit.