Hipertensi
merupakan penyakit yang berkontribusi terhadap
13,5% dari seluruh kematian (Brook, et
al, 2013). Hipertensi seringkali tidak menimbulkan gejala, sehingga
seringkali penderitanya tidak menyadari kondisinya sampai terjadi kerusakan
organ, sehingga sering disebut sebagai silent
killer. Gejala hipertensi biasanya samar, seperti sakit kepala dan nyeri leher
bagian kuduk sehingga sering diabaikan (LeMone & Burke, 2008). Hipertensi
merupakan penyebab umum kerusakan dari berbagai organ vital tubuh baik secara
langsung maupun tidak langsung seperti jantung (penyakit jantung koroner, gagal
jantung dan disritmia), ginjal (nefrosklerosis, insufisiensi, gagal ginjal),
otak (stroke), serta arteri perifer dan retinopati.
Relaksasi otot progresif (PMR) adalah
suatu metode untuk membantu menurunkan tegangan otot sehingga tubuh menjadi
rileks. Pertama kali diperkenalkan oleh Edmund Jacobson, seorang dokter dari
Amerika Serikat, pada tahun 1938. Dalam bukunya, Jacobson menjelaskan bahwa
saat ketegangan otot secara signifikan menurun, maka kesempatan untuk munculnya
penyakit dapat dikurangi. Jacobson juga mengatakan relaxation is the direct
negative of nervous excitement. It is the absence of nerve-muscle impulse (Synder
& Lindquist, 2010).
Tujuan
latihan relaksasi adalah untuk menghasilkan respon yang dapat memerangi respon
stres (Smeltzer & Bare, 2001). Manfaat dari PMR ini adalah menurunkan
kecemasan, konsumsi oksigen tubuh, kecepatan metabolisme, frekuensi napas,
ketegangan otot, tekanan darah sistol dan diastol, kontraksi ventrikel prematur
dan peningkatan gelombang alfa otak (Synder & Lindquist, 2010).
Relaksasi otot progresif dilakukan
dengan mengkontraksikan dan merelaksasikan sekelompok otot secara berurutan,
yaitu otot tangan, lengan atas, lengan bawah, dahi, wajah, rahang, leher, dada,
bahu, punggung atas, perut, paha dan betis. Kontraksi otot dilakukan 5-10 detik
dan relaksasi selama lebih kurang 20-30 detik. Perhatian pasien diarahkan untuk
dapat merasakan perbedaan antara saat otot-otot dikontraksikan dan saat
direlaksasikan. Latihan dilakukan di rungan yang tenang diatas kursi atau
tempat tidur yang nyaman yang menyokong tubuh dengan baik. Pasien dianjurkan
memakai pakaian yang nyaman, tidak ketat, sepatu, kaca amta dan kontak lens
dilepaskan. Poin penting dari latihan ini adalah melakukannya secara teratur
tiap hari minimal 15 menit (Synder & Lindquist, 2010).
Menurut Katie (2009)
Ada dua bagian yang perlu diperhatikan untuk relaksasi otot progresif, yaitu
dalam membuat ketegangan dan melepaskan ketegangan otot. Proses penerapan
ketegangan otot pada dasarnya adalah sama, terlepas dari mana kelompok otot
yang gunakan. Pertama, fokuskan pikiran pada kelompok otot, misalnya: tangan
kanan. Kemudian tarik napas dan hanya memeras otot sekeras yang bisa dilakukan
untuk menahannya sekitar 8 detik, dalam contoh, kegiatan akan membuat kepalan
tangan dengan melibatkan tangan. Setelah 8 detik ditahan, maka tiba-tiba bisa
dilepaskan. Biarkan semua sesak dan sakit mengalir keluar dari otot-otot saat
menghembuskan napas secara bersamaan. Dalam contoh ini, akan membayangkan sesak
dan sakit mengalir keluar dari tangan melalui ujung jari ketika menghembuskan
napas. Rasakan otot-otot rileks dan menjadi longgar dan lemas, ketegangan
mengalir keluar seperti air dari keran. Fokuskan perasaan dengan melihat
perbedaan antara ketegangan dan relaksasi.
Secara fisiologi, situasi stres mengaktivasi
hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu
sistem simpatis dan sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatik berespons
terhadap impuls saraf dari hipotalamus yaitu dengan mengaktivasi berbagai organ
dan otot polos yang berada di bawah pengendaliannya, sebagai contohnya, ia
meningkatkan kecepatan denyut jantung, meningkatkan tekanan darah, meningkatkan
aliran darah ke otot dan mendilatasi pupil (Smeltzer & Bare, 2001).
Sistem saraf simpatis juga memberi
sinyal ke medula adrenal untuk melepaskan epinefrin dan norepinefrin ke aliran
darah. Sistem korteks adrenal diaktivasi jika hipotalamus mensekresikan CRF,
suatu zat kimia yang bekerja pada kelenjar hipofisis yang terletak tepat di
bawah hipotalamus. Kelenjar hipofisis selanjutnya mensekresikan hormon ACTH,
yang dibawa melalui aliran darah ke korteks adrenal. Dimana, ia menstimulasi
pelepasan sekelompok hormon, termasuk kortisol, yang meregulasi kadar gula
darah. ACTH juga memberi sinyal ke kelenjar endokrin lain untuk melepaskan
sekitar 30 hormon. Efek kombinasi berbagai hormon stres yang dibawa melalui
aliran darah ditambah aktivitas neural cabang simpatik dari sistem saraf
otonomik berperan dalam respons fight or
flight (Nasution I. K., 2007). Respon fight
or flight merupakan reaksi stres di
dalam tubuh yang mencakup meningkatnya detak jantung, pernafasan, tekanan
darah, dan serum kolesterol. Filosofi dari respon fight or flight ini adalah : saat berhadapan dengan suatu ancaman,
tubuh mempersiapkan dirinya untuk ; apakah akan tetap berada di tempat
menghadapi ancaman tersebut (fight),
ataukah akan lari dari ancaman tersebut (flight).
Smeltzer & Bare (2002) mengatakan
tujuan latihan relaksasi adalah untuk menghasilkan respon yang dapat memerangi
stress. Dengan demikian, saat melakukan relaksaksi otot progresif dengan
tenang, rileks dan penuh kosentrasi (relaksasi dalam) terhadap tegang dan
relaksasi otot yang dilatih selama 30 menit maka sekresi CRH (cotricotropin releasing hormone) dan ACTH
(adrenocorticotropic hormone) di
hipotalamus menurun. Penurunan kedua sekresi hormon ini menyebabkan aktivitas
syaraf simpatis menurun sehingga pengeluaran adrenalin dan noradrenalin
berkurang, akibatnya terjadi penurunan denyut jantung, pembuluh darah melebar,
tahanan pembuluh darah berkurang dan penurunan pompa jantung sehingga tekanan
darah arterial jantung menurun (Sherwood, 2011).
Latihan relaksaasi otot progresif
memberikan dampak yang signifikan dalam menurunkan tekanan darah pada penderita
hipertensi esensial atau primer. Dampak yang terjadi meliputi dampak langsung
dan jangka panjang. Dampak langsung dari terapi relaksasi progresif adalah
penurunan tekanan darah terutama sistolik pada orang dewasa yang melakukan
pengobatan teratur. Jadi terapi relaksasi otot progresif bukan sebagai terapi
tunggal. Terapi relaksasi otot progresif juga berdampak pada penurunan denyut
nadi. Kondisi tersebut dapat disimpulkan berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Shinde, N., KJ, S., SM, K., Handee, D., & Bhushan, V. (2013)
menggambarkan tentang study eksperimental yang dilakukan di berbagai fakultas
di India bulan September 2011 sampai Desember 2011 dengan Subjek penelitian
berjumlah 105 orang yang menderita hipertensi primer dengan tekanan darah
diatas 140/90 mmHg dalam rentang usia 25-55 tahun dan menggunakan terapi medis
dengan teratur. Data dasar diukur tekanan darah dan denyut jantung dalam posisi
duduk. Semua subjek mendapat penjelasan tentang JPMR dan melakukan JPMR.
Peneliti mendemonstrasikan teknik untuk mengkontraksikan dan merelaksasikan
berbagai kelompok otot, mengatur kontraksi dan relaksasi dengan napas dalam dan
melakukan prosedur dengan mata tertutup pada posisi supinasi. Setelah
demonstrasi, subjek melakukan JPMR selama 30 menit dan setelah 30 menit
latihan, tekanan darah dan denyut jantung diuukur lagi segera setelah JPMR
dalam posisi duduk. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat
signifikan pada tekanan darah dan denyut jantung pre dan post intervensi.
Terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik pada tekanan darah sistolik
(p < 0,01), tekanan darah diastolik (p = 0,05) dan denyut jantung (p <
0,05), penurunan yang signifikan setelah sesi JPMR.
Dampak jangka panjang
terhadap terapi relaksasi otot progresif orang dewasa dengan hipertensi primer adalah
penurunan yang signifikan terhadap tekanan darah sistolik. Namun penurunan
tekanan darah sistolik hanya sekitar 5 mmHg pada orang yang hanya menggunakan
tehnik terapi relaksasi otot progresif sebagai terapi tunggal. Sementara pada
orang yang mengkonsumsi obat anti hipertensi penurunan tekanan darah sistolik bisa mencapai 16,65
mmHg. Penurunan tekanan darah diastolik tidak bermakna pada orang yang tidak
mengkonsumsi obat anti hipertensi, sementara pada orang yang rutin mengkonsumsi
obat anti hipertensi penurunan tekanan darah diastolik mencapai 3,8 mmHg.
Kondisi tersebut dapat disimpulkan dari tiga penelitian berikut.
Penelitian pertama dilakukan
oleh Patel1*, D. H. M et all (2012)
, merupakan penelitian eksperimen di Baroda India terhadap 83 orang berusia 20 – 45 tahun yang dipilih secara acak setelah diseleksi berdasarkan
kriteria usia, tekanan darah, tidak dalam kondisi sakit yang lain, dan tidak
sedang menggunakan obat anti hipertensi. Desain yang digunakan pre-post with
control group. Responden dibagi menjadi
3 group. Grup 1 adalah kelompok hipertensif dengan tekanan darah tinggi,
dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok dengan terapi PMR dan non PMR. Grup
2 adalah kelompok kontrol. Terapi PMR dilakukan oleh responden
di rumah masing masing selama 3 bulan dengan bantuan kaset panduan terapi PMR.
Hasil penelitian menunjukkan setelah 3 bulan terdapat perbedaan yang bermakna
pada tekanan darah sistolik kelompok dengan terapi PMR sebelum dan sesudah
terapi dari 142,93 menjadi 137,87mmHg (p < 0,05), terdapat perbedaan yang
bermakna pada kelompok dengan terapi PMR dan non PMR setelah 3 bulan terapi (p
< 0,05), dan terdapat perbedaan yang bermakna pada tekanan darah sistolik maupun diastolik antara kelompok
kontrol dan kelompok hipertensif setelah terapi PMR 3 bulan. Hasil
penelitian menunjukkan perbedaan pada
tekanan darah sistolik yang bermakna pre dan post PMR pada kelompok intervensi,
namun untuk tekanan darah diastolik tidak terdapat perbedaan yang bermakna.
Meskipun rerata tekanan darah sistolik responden yang melakukan PMR mengalami
penurunan namun jika dibandingkan dengan kelompok kontrol yang memiliki tekanan
darah normal masih terdapat perbedaan yang bermakna, artinya PMR bisa
menurunkan tekanan darah namun tidak bisa mengembalikan ke tekanan darah yang
normal.
Penelitian kedua dilakukan oleh Sheu et
all (2003) di Taiwan dengan desain quasi eksperiment dilakukan pada 40 orang
dengan hipertensi primer yang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok perlakuan
melakukan latihan relaksasi otot progresi selama 30 menit tiap hari. Hasil yang
diperoleh setelah satu minggu terjadi penurunan tekanan darah sistolik 3,7 –
6,5 mmHg, sementara untuk tekanan darah diastolik turun 3,0 – 3,8 mmHg. Efek
lanjut latihan terlihat pada minggu ke tiga dengan penurunan tekanan darah
sistolik sebesar 2,2 mmHg, dan pada minggu ke empat tekanan darah sistolik
menurun sebesar 5,1 mmHg sedangkan tekanan diastolik turun 2,2 mmHg.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Harmono,R
(2010) di 2 wilayah puskesmas di Malang terhadap 40 orang penderita hipertensi primer yang mengkonsumsi
obat anti hipertensi, tidak obesitas dan menjalani diit natrium yang dibatasi
2,4 gram perhari. Desain yang digunakan quasi eksperimental. Responden dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu 20 orang kelompok perlakuan dan 20 orang kelompok
kontrol. Kelompok kontrol mendapatkan latihan relaksasi otot progresif selama 15 menit dua kali serhari yang
dilaksanakan dalam 6 hari. Pengukuran tekanan darah dilakukan sebelum dan
sesudah terapi relaksaski pada hari ke 2, 4 dan 6. Hasil penelitian menunjukkan
terdapat penurunan tekanan darah sistolik yang signifikan hingga 16 mmHg (p
value = 0,0075), sementara untuk tekanan darah diastolik terjadi penurunan 3,8
mmHg namun tidak bermakna (p value = 0,058).
Hasil penelitian pada seluruh jurnal
berkaitan dengan kenyataan bahwa hipertensi berhubungan dengan gaya hidup yang
tidak sehat sehingga rekomendasi utama yang disarankan WHO untuk mengelola dan
mengatasinya adalah dengan memodifikasi gaya hidup termasuk pengendalian stres,
kecemasan atau ketegangan (Shinde, KJ, SM, Hande & Bushan, 2013).
Penelitian juga menunjukka bahwa terapi relaksasi otot progresif tidak bisa
menjadi terapi alternatif (terapi tunggal) namun merupakan terapi komplementer
yang membantu terapi obat anti hipertensi dalam menurunkan tekanan darah
terutama tekanan darah sistolik.
Dalam jurnal yang dikumpulkan, penulis
tidak menemukan adanya efek samping dari terapi relaksasi otot progresif.
Meskipun diakui bermanfaat, relaksasi otot progresif tidak boleh dilakukan pada
pasien dengan gangguan otot, jaringan atau nyeri punggung bawah, peningkatan
tekanan intrakranial, hipertensi tidak terkontrol dan penyakit arteri koroner
berat. ( Lewis et all, 2007; Richmond, 2009;
Synder & Lindquist, 2010).
Menurut Richmond, (2009) beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
latihan relaksasi otot progresif antara
lain :
a.
Latihan di tempat yang tenang,
sendirian, tanpa atau dengan bantuan audio untuk membantu konsentrasi.
b.
Lepaskan sepatu dan pakaian yang tebal.
c.
Hindari makan, minum, merokoksebelum
latihan, yang terbaik latihan sebelum makan.
d.
Tidak boleh mengkonsumsi minuman keras
sebelum latihan
e.
Jangan berlebihan dalam menegangkan otot
karena dapat menyebabkan cidera
f.
Lakukan latihan selama 15 s.d 20 menit.